Legenda Persipura Tangani Tim U-21 All Star

Publicado  Senin, 07 Juni 2010

VIVAnews - Setelah sempat menghilang, mantan striker timnas, Ronny Wabia akhirnya muncul di pentas sepakbola nasional. Bukan sebagai striker haus gol, Ronny kini tampil sebagai pelatih tim All Star U-21 di laga Perang Bintang.

Perang bintang akan digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, 6 Juni 2010. Duel ini mempertemukan juara Liga Super Indonesia (ISL) 2009/2010, Arema Indonesia dengan tim All Star yang dipilih lewat
polling sms.

Selain duel ini, penonton juga akan disuguhi laga yang mempertemukan juara ISL U-21, Persib Bandung vs tim U-21 All Star. "Berbeda dengan tim senior, para pemain tim U-21 dipilih tim independen," kata CEO Joko Driyono, Selasa 1 Juni 2010.

Menurut Joko, sebanyak 18 pemain telah ditunjuk untuk memperkuat tim All Star U-21. Sedangkan untuk pelatih, tim independen memberikan kepercayaan kepada Ronny Wabia dibantu asisten pelatih Alexander Saununu.

"Sedangkan untuk posisi manajer akan ditempati oleh Pandji Pragiwaksono. Pandji terpilih karena spirit anak mudanya dan menjadi inspirasi dengan slogannya Indonesia Unite," kata Joko.

Andalan Timnas

Ronny adalah salah satu striker terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Duetnya bersama striker Widodo C Putro bahkan sempat membuat lawan-lawannya 1996 ketar-ketir di Piala Asia.

Saat berhadapan dengan Kuwait, Ronny bahkan menjadi aktor bagi gol indah Widodo. Umpannya dari sisi kanan pertahanan lawan pada menit ke-20, disambut tendangan salto Widodo yang berhasil menjebol gawang Kuwait. Gol bicycle kick Widodo dinobatkan sebagai Gol Terbaik Asia kala itu.

Ronny sendiri berhasil mencetak satu gol dalam duel ini. Sayangnya, dua gol Kuwait di babak kedua membuat pertandingan harus berakhir imbang 2-2.

Di pentas sepakbola domestik, Ronny tak kalah cemerlangnya. Striker Persipura Jayapura ini pernah menjadi pemain terbaik Liga Indonesia musim 1995/1996. Ronny pensiun dari sepakbola dan memilih bekerja di Bank Daerah Papua mulai 2007. Sejak saat itu, Ronny pun seakan tenggelam dari sepakbola nasional.

Pertengahan Mei lalu, Ronny sempat terlihat di SUGBK. Bersama beberapa mantan pemain nasional lainnya, Ronny menyaksikan derby Jakarta antara Persija vs Persitara Jakarta Utara.

Kepada wartawan, Ronny mengaku sedang memgikuti kursus kepelatihan untuk mendapatkan lisensi B. Bersama Ronny, terlihat juga mantan bek tangguh Indonesia asal Papua, Aples Gideon Tecuari.

Adu Subur Bomber Asing di Perang Bintang ISL

Publicado  

VIVAnews - Perang Bintang Liga Super Indonesia (ISL) 2009/2010 akan digelar di Stadion Kanjuruhan, Malang, malam ini pukul 19.00 WIB. Duel ini akan menjadi arena adu tajam bomber-bomber asing.

Seperti biasa, lini depan tuan rumah Arema Indonesia akan diperkuat oleh Noh Alam Shah. Striker asal Singapura yang sudah mengoleksi 14 gol di ISL 2009/2010 itu akan dibantu oleh dua penyerang lain, Roman Chmelo dan M Ridhuan.

Di tim lawan, pelatih tim All Star, Jacksen F Tiago juga mempercayakan lini depannya kepada bomber asing. Top skorer musim ini, Aldo Barreto (19gol) akan diduetkan dengan striker PSM Makassar, Park Jung Hwan (7gol).

Di bangku cadangan, Jacksen masih menyimpan sederet striker-striker andal lainnya. Mereka adalah Bambang Pamungkas (Persija), Boaz Solossa (Persipura), dan Christian 'El Loco' Gonzales (Persib.

Susunan Pemain
Arema Indonesia: Kurnia Miega, Zulkifli, Benny Wahyudi, Pierre Njanka, Purwaka, Juan Revi, Ahmad Bustomi, M Ridhuan, Roman Chmelo, M Fahrudin, Noh Alam Shah

All Star: Markus Horison, Nova Arianto, Ricardo Salampessy, Maman, M Robi, Eka Ramdani, Firman Utina, Aldo Bareto, Atep, Park Jung Hwan, M Ilham

Supporter Satu Hati

Publicado  Kamis, 22 April 2010

Kendati kesebelasan Persebaya Surabaya kalah atas Persib Bandung pada kejuaraan Indonesia Super League dengan skor 4-2, ribuan Bonek (bondo nekat) atau pendukung setia Persebaya tidak lantas membuat onar di Bandung. Ini lantaran dua kelompok pendukung Persib dan Persebaya, yakni Bonek dan Viking sudah menjalin keharmonisan sejak lama. Hal itu dapat dilihat di situs jejaring sosial Facebook dengan akun "Viking Bonek One Heart" [baca: Maung Bandung Bungkam Bajul Ijo].

Berdasarkan pantauan Liputan6.com, Selasa (26/1), pada situs tersebut menggambarkan keharmonisan kedua kubu suporter yang saling mendukung satu sama lain. Padahal, Persebaya dan Persib sempat menjadi musuh bebuyutan sejak kompetisi klub perserikatan, beberapa tahun silam.

Di situs tersebut dikatakan, para pendukung dua kesebelasan tersebut selalu mendapat stigma pembuat kerusuhan. Cap negatif ini terutama dilontarkan sejumlah media massa. Dengan kata lain, di mana ada pertandingan yang ditonton Viking atau Bonek maka akan terjadi kericuhan.

Kedua belah pihak pun menilai media tidak pernah mengekspos kegiatan positif yang dilakukan Bonek atau Viking. Maka atas dasar senasib itulah keduanya bersatu menjadi ikatan persaudaraan.

Tidak hanya itu, di situs tersebut juga ditulis kalau Bonek sempat menjadi korban penyerangan oleh suporter di Jakarta saat kesebelasan Persebaya bertanding di Ibu Kota. Ketika itu ada beberapa bobotoh atau anggota Viking yang menyelamatkan Bonek dari serangan tersebut.

Untuk itulah persaudaraan terjalin hingga saat Viking hendak mendukung Persib di Surabaya, Jatim. Mereka disambut hangat oleh para Bonek, demikian pula sebaliknya. Selain itu, dituliskan pula jika Bonek bukan hanya kependekan dari bondo nekat tapi juga bobotoh nekat, sehingga keduanya bagai saudara tak terpisahkan. "Viking atau Bonek sama saja!" seperti dikutip situs jejaring sosial Facebook dengan nama "Viking Bonek One Heart" tersebut.

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia

Publicado  Selasa, 20 April 2010





Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, disingkat PSSI, adalah organisasi induk yang bertugas mengatur kegiatan olahraga sepak bola di Indonesia. PSSI berdiri pada tanggal 19 April 1930 dengan nama awal Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo.

PSSI bergabung dengan FIFA pada tahun 1952, kemudian dengan AFC pada tahun 1954. PSSI menggelar kompetisi Liga Indonesia setiap tahunnya, dan sejak tahun 2005, diadakan pula Piala Indonesia. Ketua umumnya saat ini adalah Nurdin Halid yang sempat diusulkan untuk diganti karena tersandung masalah hukum.
Sejarah

PSSI dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda, kelahiran PSSI ada kaitannya dengan upaya politik untuk menentang penjajahan. Apabila mau meneliti dan menganalisa lebih lanjut saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terlihat jelas bahwa PSSI lahir dibidani oleh muatan politis, baik secara langsung maupun tidak, untuk menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung.

PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo. Ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada tahun 1927 dan kembali ke tanah air pada tahun 1928. Ketika kembali, Soeratin bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta. Di sana beliau merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris perusahaan konstruksi besar itu. Akan tetapi, didorong oleh semangat nasionalisme yang tinggi, beliau kemudian memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut.

Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di bidang pergerakan. Sebagai seorang pemuda yang gemar bermain sepak bola, beliau menyadari kepentingan pelaksanaan butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda). Soeratin melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda sebagai sarana untuk menentang Belanda.

Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Soeratin rajin mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID). Kemudian, ketika mengadakan pertemuan di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya, dimatangkanlah gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola nasional. Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno (bukan Bung Karno). Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang.
Logo lama PSSI.

Kemudian pada tanggal 19 April 1930, berkumpullah wakil dari VIJ (Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB - Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Gatot), PSM - Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta (Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo), VVB - Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB - Madioensche Voetbal Bond (Kartodarmoedjo), IVBM - Indonesische Voetbal Bond Magelang (E.A. Mangindaan), dan SIVB - Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (Pamoedji). Dari pertemuan tersebut, diambillah keputusan untuk mendirikan PSSI, singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Nama PSSI lalu diubah dalam kongres PSSI di Solo pada tahun 1930 menjadi Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia sekaligus menetapkan Ir. Soeratin sebagai ketua umumnya.

Upaya Tim Keamanan Pasca Pertandingan

Publicado  




Hingga lewat tengah malam pada Senin (17/7) itu, selepas dua pertandingan perdana babak delapan besar zona Gresik antara PSM Makassar dengan Persmin Minahasa dan Persekabpas Pasuruan dengan Persija Pusat di Stadion Tri Dharma Petrokimia, Gresik, ratusan aparat keamanan gabungan polisi dan TNI dari berbagai kesatuan masih disibukan dengan evakuasi sekitar 160 Jakmania, pendukung setia tim Macan Kemayoran. Mereka beberapa kali dipindahkan sebelum ditempatkan di area pergudangan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya..

Proses evakuasi yang menegangkan itu diikuti terus oleh jajaran panitia pelaksana lokal babak delapan besar Liga Djarum 2006 yang diketuai oleh Haruna Soemitro. Ketua Pengda PSSI Jatim itu memantau atau memonitoring saat-saat mencekam itu melalui telepon selulernya. "Tadi terakhir dievakuasi ke Pelabuhan Tanjung Perak dan dijaga ketat petugas, termasuk brimob dan marinir," katanya dengan nada lesu, di Hotel Satelit, Surabaya, lewat tengah malam Senin.

Haruna Soemitro yang baru memangku jabatan ketua Pengda PSSI Jatim menggantikan Dhiman Abror Djuraid, beberapa bulan silam, mengemukakan kalau sejak awal dia bertekad untuk menjadikan Gresik sebagai tempat yang nyaman dan ramah bagi para penikmat sepakbola.

Dia mempersilakan komunitas sepakbola dari segala lapisan, utamanya tentulah pecinta setia dari keempat tim peserta babak delapan besar zona Gresik (yakni Persekabpas Pasuruan, Persija Jakarta, PSM Makassar, dan Persmin Minahasa) untuk menyaksikan rangkaian pertarungan tim-tim pujaannya tanpa harus merasa takut atau mengkhawatirkan kemungkinan timbulnya gesekan antar kelompok suporter.

Dia juga tidak terlalu yakin jika bonekmania, julukan untuk pendukung fanatik Persebaya Surabaya, akan 'ngeluruk' ke Gresik. Kalau pun bonek akan ada, dia akan melakukan sweeping ketat sehingga mereka tidak bisa berbuat seenaknya di Gresik. Sweeping itu juga akan dilakukan terhadap siapa pun yang membawa senjata tajam, atau berbagai benda lain yang bisa membahayakan.

Pada kenyataannya, keinginan Haruna Soemitro untuk menjadikan Gresik sebagai venues babak delapan besar yang nyaman dan ramah tidak bisa diwujudkan dengan baik. Fakta yang terjadi jusrtru bonekmania tak terhalang untuk melakukan berbagai tindakan yang tak terpuji, termasuk dengan melempari bus pemain PSM Makassar sehingga beberapa kacanya pecah.

Sweeping itu justru dilakukan oleh bonekmania dengan mengejar-ngejar kelompok pendukung yang selama ini dikenal berseberangan dengan mereka, terutama Jakmania dan kelompok pendukung PSM. Ratusan aparat keamanan gabungan yang berada di luar Stadion Tri Dharma Petrokimia Gresik harus bekerja keras untuk membubarkan konsentarsi bonekmania di beberapa titik di sekitar stadion. Sekitar tiga sampai lima ratusan pendukung tim PSM bahkan baru bisa dimasukkan ke dalam stadion menjelang babak pertama selesai dengan penjagaan ketat aparat keamanan.

Berikut wawancara dengan Haruna Soemitro yang dilakukan dalam bentuk tanya-jawab: Q:Kekhawatiran bahwa kehadiran bonek akan membawa masalah bagi panitia ternyata terbukti. Bagaimana cara panitia lokal mengantisipasi sikap-sikap tidak simpatik bonek untuk selanjutnya?

A: Kehadiran bonekmania ini memang memusingkan kami. Semula saya pikir hanya akan sedikit bonek yang datang, apalagi kami ingin menjadikan Gresik ini benar-benar sebagai tempat yang netral bagi keempat tim, terutama untuk tiga tim luar Jawa Timur. Namun ternyata sentimen anti Jakmania dan PSM begitu kuat sehingga ribuan bonekmania berdatangan ke Gresik.
Sentimen itu tampaknya juga disertai dendam lama dari babak delapan besar Liga Djarum 2005 lalu, ketika bonekmania akhirnya harus terusir dari Jakarta. Jadi motifnya memang dendam. Bonekmania yang melakukan ulah sekarang ini mungkin saja yang tahun lalu datang ke Jakarta dan merasa diperlakukan tidak manusia oleh Jakmania, termasuk diusir-usir dari beberapa titik tempat mereka berkumpul. Sakit hati itu yang tampaknya ingin dibalaskan.

Bukankah sehari sebelumnya sudah ada ikrar perdamaian diantara kelompok suporter?

Ikrar perdamaian itu kan dibuat dan ditandatangani oleh elite-elitenya setiap kelompok suporter. Jadi mungkin gak sampai ke tingkat akra rumput, padahal grass-root ini yang langsung berada di lapangan dan merasakan langsung penderitaan ketika tahun lalu mereka dikejar-kejar dan diusir-usir sampai keluar dari Jakarta.

Bagaimana mengantisipasi kehadiran bonek untuk pertandingan selanjutnya?

Saya belum tahu, saya masih harus melakukan koordinasi dengan aparat keamanan. Saya dan jajaran panitia tentu saja tak menginginkan Gresik menjadi tempat pembalasan dendam bonekmania pada Jakmania. Mungkin saja saya akan melarang kehadiran bonekmania untuk pertandingan hari Rabu dan Sabtu nanti, tetapi itu masih harus diikordinasikan dengan aparat keamanan. Kalau memang boneki dilarang masuk Gresik, kami harus melakukan penjagaan ketat di beberapa titik masuk Gresik.

Di luar aksi brutal para bonek itu, penyelenggaraan pertandingannya sendiri cukup baik?

Saya kira ya. Penyelenggaraan pertandingannya tak terganggu oleh aksi-aksi di luar stadion yang dilakukan oleh bonekmania itu. Saya juga bersyukur kalau kelompok suporter tim Persekabpas dari Laskar Sakera yang jumlahnya sekitar 5000 itu tidak ikut-ikutan.
Namun saya memang sempat cemas ketika Persekabpas tertinggal lebih dulu dari Persija Pusat. Saya pikir, wah, bisa bahaya ini kalau Laskar Sakera kecewa karena timnya kalah. Syukurlah Persekabpas bisa menang dan pendukungnya dari Laskar Sakera meninggalkan stadion dengan tertib, langsung kembali ke Pasuruan dengan puluhan bus besar.

Sebenarnya berapa jumlah aparat keamanan yang dikerahkan untuk babak delapan besar zona Gresik ini?

Jumlah petugas keamanan yang kami siagakan semula sekitar 600 orang. Namun, ketika jumlah bonek ternyata makin banyak kami otomatis menambah juga jumlah aparat keamanan, dari kepolisian sampai sampai tentara dari berbagai kesatuan. Hingga tiga kali proses evakuasi Jakmania tengah malam ini jumlah aparat keamanan gabungan itu sampai 1000 orang.

Untuk babak delapan besar Liga Djarum 2006 ini Badan Liga Indonesia (BLI) mencoba mengadopsi penyelenggaraan Piala Dunia Jerman yang baru lalu. Bagaimana tingkat keberhasilannya?

Upaya-upaya mengadopsi penyelenggaraan Piala Dunia Jerman memang sah-sah saja. Bagi saya meniru yang baik-baik itu tidak menjadi masalah, bahkan wajib hukumnya. Nanun, kalau dikaitkan dengan babak delapan besar Liga Djarum 2006 ini, tentu saja masih jauh dari harapan.
Walau demikian, minimal kita sudah berusaha maksimal. Misalnya, agar penonton bisa lebih tertib dan petugas keamanan bisa tanggap untuk segera melakukan pencegahan atas kemungkinan adanya penonton yang melakukan sikap tak terpuji, saya secara khusus menempatkan 50 petugas polisi bertindak seperti match-steward.

Mereka tidak berdiri menghadap lapangan pertandingan, namun langsung menghadap kearah penonton. Kalau di Piala Dunia tempo hari yang ditugaskan itu adalah para volunteer atau pekerja sukarela, tetapi di kita kan tidak mungkin. Saya harus mengeluarkan uang 50.000 rupiah kepada setiap petugas polisi yang ditugaskan khusus untuk itu.

Bondho Nekat

Publicado  





Istilah Bonek,akronim bahasa Jawa dari Bondho Nekat (modal nekat), biasanya ditujukan kepada sekelompok pendukung atau suporter kesebelasan Persebaya Surabaya, walaupun ada nama kelompok resmi pendukung kesebelasan ini yaitu Yayasan Suporter Surabaya (YSS).

Istilah bonek pertama kali dimunculkan oleh Harian Pagi Jawa Pos tahun 1989[rujukan?] untuk menggambarkan fenomena suporter Persebaya yang berbondong-bondong ke Jakarta dalam jumlah besar. Secara tradisional, Bonek adalah suporter pertama di Indonesia yang mentradisikan away supporters (pendukung sepak bola yang mengiringi tim pujannya bertandang ke kota lain) seperti di Eropa.[rujukan?] Dalam perkembangannya, ternyata away supporters juga diiringi aksi perkelahian dengan suporter tim lawan. Tidak ada yang tahu asal-usul, Bonek menjadi radikal dan anarkis. Jika mengacu tahun 1988, saat 25 ribu Bonek berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk menonton final Persebaya - Persija, tidak ada kerusuhan apapun.

Secara tradisional, Bonek memiliki lawan-lawan, sebagaimana layaknya suporter di luar negeri. Saat era perserikatan, lawan tradisional Bonek adalah suporter PSIS Semarang dan Bobotoh Bandung. Di era Liga Indonesia, lawan tradisional itu adalah Aremania Malang, The Jak suporter Persija, dan Macz Man fans PSM Makassar. Di era Ligina, Bonek justru bisa berdamai dengan Bobotoh Persib Bandung dan Suporter PSIS Semarang.

Beberapa peristiwa kekacauan yang disebabkan "Bonek mania" antara lain adalah kerusuhan pada pertandingan Copa Dji Sam Soe antara Persebaya Surabaya melawan Arema Malang pada 4 September 2006 di Stadion 10 November, Tambaksari, Surabaya. Selain menghancurkan kaca-kaca di dalam stadion, para pendukung Persebaya ini juga membakar sejumlah mobil yang berada di luar stadion antara lain mobil stasiun televisi milik ANTV, mobil milik Telkom, sebuah mobil milik TNI Angkatan Laut, sebuah ambulans dan sebuah mobil umum. Sementara puluhan mobil lainnya rusak berat. Atas kejadian ini Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman (sebelum banding) dilarang bertanding di Jawa Timur selama setahun kepada Persebaya, kemudian larangan memasuki stadion manapun di seluruh Indonesia kepada para bonek selama tiga tahun.

Sekitar Agustus 2006, bonek dijatuhi sanksi lima kali tidak boleh mendampingi timnya saat pertandingan away menyusul ulah mereka yang memasuki lapangan pertandingan sewaktu Persebaya menghadapi Persis Solo di final divisi satu. Ironisnya, tahun 2005, Persebaya justru rela dihukum terdegradasi ke divisi satu gara-gara mundur di babak 8 besar. Pihak klub beralasan untuk melindungi bonek agar tidak disakiti.

Namun tidak selalu Bonek bertindak anarkis ketika kesebelasan Persebaya kalah. Tahun 1995, saat Ligina II, Persebaya dikalahkan Putra Samarinda 0 - 3 di Gelora 10 November. Tapi tidak ada amuk Bonek sama sekali. Para Bonek hanya mengeluarkan yel-yel umpatan yang menginginkan pelatih Persebaya mundur.

Saat masih di Divisi I, Persebaya pernah ditekuk PSIM 1 - 2 di kandang sendiri. Saat itu juga tidak ada aksi kerusuhan. Padahal, jika menengok fakta sejarah, hubungan suporter Persebaya dengan PSIM sempat buruk, menyusul meninggalnya salah satu suporter Persebaya dalam kerusuhan di kala perserikatan dulu.









Kerusuhan 22 Januari 2010

Pada tanggal 23 Januari 2010, sekitar 4000 bonek yang berangkat dari Surabaya ke Bandung via Solo melakukan tindakan anarki berupa pelemparan batu dan penganiayaan terhadap sejumlah orang[1]. Selain itu tim yang akrab dengan tindakan hooliganisme ini juga melakukan tindakan kriminal penjarahan[2][3][4], pemukulan terhadap wartawan Antara, Hasan Sakri Ghozali[5][6], anggota Brimob, Briptu Marsito[7], perusakan stasiun Purwosari Solo dan stasiun lainnya, perusakan rumah warga[8], serta tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya. Satu bonek dilaporkan meninggal karena terjatuh dari atap kereta api Pasundan yang ditumpanginya, beberapa bonek mengalami keadaan kritis, dan puluhan orang dari pihak bonek dan penduduk di pinggiran rel kereta api mengalami luka-luka[9]. Kerugian besar juga dialami oleh pihak Kereta Api Indonesia karena bonek melakukan perusakan terhadap kereta api, stasiun, dan menolak membayar penuh, serta menaiki kereta api melebihi kapasitas.[10][11]

Selain itu, kepergian Bonek kali ini juga melanggar hukuman yang diterapkan oleh Komisi Disiplin PSSI yang memberikan sanksi larangan suporter Persebaya mendampingi pertandingan selama 2 tahun.[12]
[sunting] Lihat pula

SEJARAH “BONEK”

Publicado  




Surabaya Persebaya (Persatuan Sepakbola Surabaya) adalah sebuah tim sepak bola Indonesia yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur. Pada tahun 2006, Persebaya bermain di Divisi Satu Liga Indonesia dan sekarang kembali ke liga teratas dari Liga Indonesia.


Para pendukung Persebaya dikenal sebagai Bonek (Bondo Nekat). Mereka dikenal dengan cara eksentrik mendukung Persebaya. Mereka biasanya pergi dengan kereta api dengan anggaran kecil untuk menuju Homebase lawan. Hal besar dari Bonek adalah kesetiaan mereka kepada Persebaya. Mereka selalu tinggal dan mendukung Persebaya dengan menyebabkan segala macam kerusuhan dan perkelahian dengan tim lawan ‘pendukung.


Istilah Bonek, akronim bahasa Jawa dari Bondho Nekat (modal nekat), biasanya ditujukan kepada sekelompok pendukung atau suporter kesebelasan Persebaya Surabaya, walaupun ada nama kelompok resmi pendukung kesebelasan ini yaitu Yayasan Suporter Surabaya (YSS).
Istilah bonek muncul secara tiba-tiba, nama besarnya pun ada karena media massa. Pada awalnya nama bonek mempunyai reputasi bagus, namun dalam perkembangannya lebih berkonotasi negatif.
Berawal dari sebutan populer untuk suporter Persebaya (kala itu "Green Force"). Antusias tak hanya dari kota Surabaya, namun dari kota-kota besar di Jatim. Begitu antusiasnya Jawa Pos sampai dalam head line news tertulis "Hijaukan senayan" dan sambutan masyarakat Surabaya dan Jatim pun luar biasa.
Modal tekad menghijaukan senayan begitu menggebu. Yang punya duit pas-pasan masih punya cara menggandol truk secara estafet dari Surabaya-Jakarta sambil ngamen. Bahkan ada yang berangkat jauh-jauh hari ke Jakarta (meski Persebaya belum tentu masuk final) dengan menumpang kereta pertamina yang jalannya bak keong..., yang penting sampai Jakarta.
Semangat positif dan antusiasme tanpa ANAKRKIS dan KERUSUHAN dengan melibatkan massa banyak itulah yang mendapatkan acungan jempol banyak kalangan di Indonesia kala itu.
Sebagai catatan:
- Menghijaukan senayan dengan 110 ribu penonton dari Surabaya dan Bandung. Jumlah suporter persebaya sekitar 40%. Ini merupakan rekor jumlah penonton yang barangkali rekor ini hingga kini belum terpecahkan.
- Semangat heroik suporter Persebaya yang memanjat dan merayab sampai atap senayaan yang berbentuk lingkaran hanya untuk membentangkan spanduk super raksasa yang berwarna hijau bertuliskan "Merah Darahku Putih Tulangku Bersatu dalam Semangatku".
Semangat dengan berbagai cara yang HALAL untuk datang mendukung Persebaya ke senayan membuat beberapa media massa, terutama Jawa Pos sebagai pelopornya mengistilahkan BONEK (Bondo Nekad), bahwa semangat hidup dan semangat untuk maju manusia perlu punya modal tekad yang kuat. Namun kini, modal tekad atau bodo nekad atau BONEK, tidak ditunjukkan oleh generasi bonek-bonek saat ini yang justru nekad dalam arti menghalalkan segala cara.
Kesalahan terjadi karena:
- bonek sebelumnya yang tidak meninggalkan warisan.
- media massa yang kadang mengompori dan cenderung membenarkan.
- salah kaprah tekad dan modal nekad serupa tak sama. Tekad lebih ke semangat untuk melakukan tindakan, sedangkan nekad lebih ke tindakan yang dilakukannya. Seharusnya Bondo Tekad, bukan bondo nekad, namun untuk kemudahan pengucapan lebih cenderung BondoNekad alias BONEK.
Jadi, tidak terlalu salah jika sekarang penduduk sepanjang rel yang dilalui Bonek menjadi ws-was, bahkan melempari kereta yang ditumpangi Bonek dengan batu. Sungguh suatu yang ironi!